Kopi tanpa gula itu pahit. Nggak semua orang suka. Tapi buat yang peduli soal kesehatan, kopi pahit tanpa gula justru lebih baik. Rasanya memang tak bersahabat di awal, tapi kalau sudah terbiasa, lidah kita akan berdamai. Awalnya terpaksa, lama-lama terbiasa.
Begitu juga dalam dunia pendidikan. Kadang, untuk membentuk kebiasaan baik, kita butuh sedikit “paksa.” Bukan karena ingin menyusahkan, tapi karena ingin menanamkan nilai yang lama-lama akan tumbuh menjadi kebiasaan.
Dalam pertemuan Penguatan Sekolah/Madrasah Unggul Muhammadiyah se-Lampung beberapa waktu lalu, saya sampaikan satu ide sederhana tapi potensinya luar biasa. Jumlah siswa Muhammadiyah se-Lampung itu lebih dari 51 ribu. Kita bulatkan saja jadi 50 ribu untuk mudah menghitung.
Bayangkan jika setiap siswa, setiap hari Jumat, “dipaksa” berinfak seribu rupiah saja. Tidak harus besar, tapi dilakukan bersama dan rutin. Maka akan terkumpul 50 juta rupiah setiap pekan. Dalam sebulan? 200 juta rupiah. Itu bukan angka khayalan, tapi potensi nyata yang ada di depan mata.
Dana yang terkumpul bisa diarahkan untuk banyak hal: membantu siswa yang kesulitan ekonomi, mendukung program-program sosial sekolah, atau memperbaiki fasilitas sekolah. Dan yakinlah, kalau dampaknya terasa nyata, siswa sendiri yang akan terpanggil untuk berinfak lebih dari seribu. Toh, sekarang mencari uang pecahan seribuan juga makin susah, kan?
Tapi, agar gerakan ini terarah dan terjaga akuntabilitasnya, kita perlu melibatkan Lazismu sebagai payung resminya.
Kebiasaan baik seringkali tumbuh dari rasa pahit—seperti kopi tanpa gula. Tapi dengan ketekunan dan ketulusan, akan terasa manis di akhirnya. Jadi, ayo mulai dari yang kecil, dari yang sederhana, dan dari sekarang. Karena infak seribu itu bukan soal jumlah, tapi soal komitmen kita mencetak generasi yang peduli dan tangguh.
Ahh… pahitnya kopi siang ini mengingatkan, bahwa tidak semua yang pahit itu buruk. Kadang, justru dari situ kebaikan bermula.